Kemampuan bicara kembali setelah pengangkatan pita suara dapat dengan :
Menggunakan electrolaring: alat ini diletakkan pada dagu bawah, getaran yang di timbulkan dari kekuatan batre pada alat yang menghasilkan bunyi
Blog yang bertajuk tanpa-pita-suara ini saya dedikasikan kepada para “tuna laring”, yaitu kumpulan individu tanpa pita suara , bergabung dalam naungan Perhimpunan Wicara Esofagus (PWE), yaitu salah satu cara bicara kembali setelah pita suara diangkat. Sebagian besar laki-laki, dan penyebab utamanya rokok. Saya sampaikan tips untuk menghadapi “hidup baru” , dan aktifitas PWE. Saya upayakan update tiap akhir pekan.
Apa kabar bapak? Ada e-mail dari mas Fajar, bapak ingin tahu acara yang berlangsung di Jakarta. Mengapa tak hadir bapak, mas Fajar menulis pada e-mail menjelang diselenggarakan acara pelatihan 14 dan 15 Maret 2007, bapak agak tak percaya diri. Ah, bapak kan hebat.
Saya ceriterakan saja acara yang berlansung ya pak Darmono. Menurut saya acara berlangsung sangat baik. Acara pelatihan ini di hadiri sekitar 15 orang teman bapak, ada yang baru, ada yang bersama bapak ke Bangkok . Terdapaftar juga dan hadir di hari pertama bu Dalijan sebagai pendamping, eh , keesokan harinya sudah tak hadir lagi, karena bapak yang lain tidak ada pendamping yang ikut. (Kan semua sudah hebat). Mengikuti pula acara ini 10 orang terapis wicara. Acara ini memang bukan pelatihan untuk para dokter, mungkin lain kali. Ketua penyelenggara, dr Ira , baru sekarang menyelenggarakan acara Pelatihan Wcara Esofagus. Pelatihan Wicara Esofagus memang bisa melibatkan banyak disiplin pesrta. Tahun 2002 lalu yang paling lengkap, dokter dari THT dan Rehabilitasi Medik, perawat, keluarga, selain para tuna laring dan terapi wicara. Semoga dengan pengalaman ini , dr Ira berani mejnyelenggarakan lagi dengan lebih banyak peserta.
Pelatihan memang telah berlangsung beberapakali: tahun 1992
Bapak Ikeda, tahun 1992.
Bapak kenal pak Ikeda? Tahun 1992 selain ke Jakarta belisu juga ke Surabaya. Kemudian tahun 1994. Nah, 1994 inii bapak Shoji Nakamura meminta saya berjanji untuk terus membantu para tuna laring. Tak terasa sudah 15 tahun saya bersama teman-teman bapak.
Hotel President tahun 1994. Dr Handikin, saya, Ninda, si cantik penerjemah kami. Bapak Shoji Nakamura dan bapak Susumu Hisanaga. (urutan dari kiri)
Yang ke tiga tahun 1996. tahun ini mulai bergabung pak Tobing, Zainudin dan pak Supriyono .
Zainudin menerima sertifikat
dari Bapak Susumu Hisanaga.
(tahun 1996)
Pak Supriyono mendapat kesempatan ke Tokyo mengikuti pelatihan dengan dana JICA. . Pak Tobing dan Zainudin meneruskan belajar di RS Cipto dan jadilah ke tiganya instruktur.. Pelatihan kembali di laksanakan tahun 1999 dan 2002.
Tahun 1999 di hadiri ibu Murpratomo
Tahun 2002 saya bersama 5 bapak (pak Ismedt, pak Supriyono Yudho, pak Tobing, pak tarto dan Zainudin), berkesempatan ke tokyo, mengikuti pelatihan instruktur, selama 3 bulan , dengan biaya JICA.
Tahun 2002 di Tokyo.
Diantara saya dan pak Tobing, bapak Shoji Nakamura
Kemudian tahun 2003 , 2 terapis wicara , ibu Helena dan ibu Niniek, menyertai 7 bapak berlatih di Bangkok.
Ibu Helena dan ibu Niniek,mendampingi di Bangkok.
Pada tahun yang sama pak Siahaan dan pak Andowi berlatih ke Tokyo. Pak Siahaan kini aktif membantu,namun pak Andowi kok lama tak ada beritanya .Pelatihan di Bangkok terselenggara lagi tahun 2006 yang lalu.
Pak Darmono dan kawan-kawan, di bandara Sukarno-Hata, menjelang keberangkatan ke Bangkok.
(2006)
Pelatihan di Jakarta berlangsung tahun ini dan Mr Karoon disertao mr Sopon, datang untuk mensupervisis, sebagai wakil AFLA.
Makan malam di Satay House - Kebon Sirih
Agenda acara dapat saya sebutkan sebagai berikut. Hari pertama setelah laporan ketua panitia, kepala departemen membuka, dan saya menceriterakan perjalanan kerjasama PWE-AFLa serta pelatihanyang telah pernah diselenggarakan (seperti saya ceriterakan di atas. Dr Ira melanjutkan kemudian dr Bambang Hermani SpTHT, serta ibu Helena. Setelah sholat Jumat, dilakukan pembagian kelompok, menurutkemampuan wicara dan terapis yang dipasangkan , nantinya akan melatih. Setelah itu teman-teman bapak menyelenggarakan rapat organisasi, tentang rencana hingga tahun 2010, sedangkan para terapis wicara berlatih bersama ibu helena..Acara berlangsung hingga pk 15.30
Pak Sugeng, ke tiga dari kiri
Keesokan harinya langsung pelatihan, dan setelah makan siang, di lakukan evaluasi dilanjutkan menyanyi bersama, membaca puisi, karaoke dansa. Pokoknya seru! Acara ditutup pk 15.00. dan direncanakan tahun depan 2 hari di jakarta, 2 hari di surabaya, dengan supervisi dari Bangkok. Semoga bisa terlaksana. Dari Surabaya yang hadir pak Sugeng, terapis wicara dan pak Djoko..
Mr Karoon dan mr Sopon mengisi hari-harinya dengan piknik bersama pak Tobing , pak Tarto pak Siahaan dan Zainudin.
Sekian dulu pak Darmono. Nanti saya sambung lagi
Jakarta, 19 maret 2007
Menyanyi bersama
Nury
rehab-med.blogspot.com
nury-nus.blogspot.com
laryngectomees.blogspot.com
tanpa-pita-suara.logspot.com
AKU TANPA LARING
MSHR
Masa mudaku telah berlalu
Dari mulutku tiada lagi asap mengepul
Nada suaraku tak lagi semerdu dulu
Parau ………..tak berlagu
Pita suaraku telah tiada
Aku sadar, ……….aku menyesal
Namun apa mau dikata
Semua itu telah menjadi fakta
Lebih baik maju terus…..kerja terus
Sampai batas akhir hayatku (
Puisi di atas menggambarkan kegalauan seorang yang tadinya menggemari rokok, namun kini bukan lagi tak bisa merokok, bicarapun harus belajar kembali. Pak Mashuri menulis dan membacakan sajaknya pada latihan bersama para tuna laring (sebutan untuk seseorang yang tidak lagi mempunyai pita suara) , yang tergabung dalam Perhimpunan Wicara Esofagus (PWE). Latihan bersama ini dihadiri 2 tuna laring dari asosiasi serupa di Thailand ( Laryngecromees Association in
Pengangkatan pita suara biasanya karena keganasan laring. Keganasan laring , terjadi paling banyak pada laki-laki, perbandingan laki-laki: perempuan = 9 : 1. Rokok ditengarai sebagai penyebab utama terjadinya keganasan pita suara ini. Rata-rata 5 orang anggota baru pertahun, hal ini sangat jauh dari diagnosa yang ditegakkan berdasarkan Patologi Anatomi. Sering kali pasien datang saat stadium lanjut, sehingga tidak bisa lagi di lakukan tindakan pengangkatan laring. Sesungguhnya bila ditemukan saat stadium dini, keganasan ini tidaklah berakibat fatal. Namun, gambaran tidak bisa bicara setelah operasi menyebabkan tindakan operasi dihindari, mencari pengobatan dalam bentuk lain, an datang kembali sudah terlambat.
PWE berlatih seminggu sekali di Departemen Rehabilitasi Medik, dengan instruktur dari para tuna laring sendiri.
Seorang tuna laring harapan hidupnya sama dengan orang lain, karena setelah keganasannya di angkat, menjadi tidak sakit lagi, hanya terjadi perubahan cara bernafas yang sekarang berpindah melalui stoma di leher, dan bicara tidak menggunakan pita suara , melainkan esofagus.