Friday, March 30, 2007

Bicara kembali setelah pengangkatan pita suara



Kemampuan bicara kembali setelah pengangkatan pita suara dapat dengan :


Wicara Esofagus, yaitu menggunakan saluran makanan setinggi pita suara asli sebagai sumber bunyi, sedangkan udara penggetarnya , udara yang di "telan", namun sebelum masuk ke dalam lambung di dorong kembali ke atas untuk menggetarkan pita suara pengganti








Menggunakan alat bantu yang di tanam (shunt) diantara saluran udara dan saluran makan:
Sumber bunyinya tetap saluran makanan setinggi pita suara asli, tetapi udara penggetarnya dari paru. Udara dari paru menuju pita suara pengganti dengan di tutup aliran ke luar "stoma".















Menggunakan electrolaring: alat ini diletakkan pada dagu bawah, getaran yang di timbulkan dari kekuatan batre pada alat yang menghasilkan bunyi



















Saturday, March 24, 2007

Ikeda- san ; 1992





Gambar di atas dari guntingan Nova tahun 1992. Jadi ingat saat pertama kali menyelenggarakan Pelatihan Wicara Esofagus. Pengerahan peserta di bantu ibu Aristiarini dari Kompas. Peliputan (gambar di atas) oleh mas Jubing dari Nova.
Terima kasih. Juga untuk dr Herman SpRM, sebagai sesama peserta Program Studi Dokter Spesialis (PPDS)saat itu, membantu dokumentasi, dari kantung pribadi.
Prof Soelarto almarhum sangat mendukung, dengan ketua dr Angela, kerjasama pelatihan dengan departemen THT RSCM (saat itu kepala departemen prof Nurbaiti) dimulai.


Semua menjadi kenangan manis sekarang

Jakarta, 24 maret 2007






Tuesday, March 20, 2007

Yth pak Darmono

Surat untuk pak Darmono


Apa kabar bapak? Ada e-mail dari mas Fajar, bapak ingin tahu acara yang berlangsung di Jakarta. Mengapa tak hadir bapak, mas Fajar menulis pada e-mail menjelang diselenggarakan acara pelatihan 14 dan 15 Maret 2007, bapak agak tak percaya diri. Ah, bapak kan hebat.

Saya ceriterakan saja acara yang berlansung ya pak Darmono. Menurut saya acara berlangsung sangat baik. Acara pelatihan ini di hadiri sekitar 15 orang teman bapak, ada yang baru, ada yang bersama bapak ke Bangkok . Terdapaftar juga dan hadir di hari pertama bu Dalijan sebagai pendamping, eh , keesokan harinya sudah tak hadir lagi, karena bapak yang lain tidak ada pendamping yang ikut. (Kan semua sudah hebat). Mengikuti pula acara ini 10 orang terapis wicara. Acara ini memang bukan pelatihan untuk para dokter, mungkin lain kali. Ketua penyelenggara, dr Ira , baru sekarang menyelenggarakan acara Pelatihan Wcara Esofagus. Pelatihan Wicara Esofagus memang bisa melibatkan banyak disiplin pesrta. Tahun 2002 lalu yang paling lengkap, dokter dari THT dan Rehabilitasi Medik, perawat, keluarga, selain para tuna laring dan terapi wicara. Semoga dengan pengalaman ini , dr Ira berani mejnyelenggarakan lagi dengan lebih banyak peserta.

Pelatihan memang telah berlangsung beberapakali: tahun 1992


Bapak Ikeda, tahun 1992.


Bapak kenal pak Ikeda? Tahun 1992 selain ke Jakarta belisu juga ke Surabaya. Kemudian tahun 1994. Nah, 1994 inii bapak Shoji Nakamura meminta saya berjanji untuk terus membantu para tuna laring. Tak terasa sudah 15 tahun saya bersama teman-teman bapak.


Hotel President tahun 1994. Dr Handikin, saya, Ninda, si cantik penerjemah kami. Bapak Shoji Nakamura dan bapak Susumu Hisanaga. (urutan dari kiri)


Yang ke tiga tahun 1996. tahun ini mulai bergabung pak Tobing, Zainudin dan pak Supriyono .


Zainudin menerima sertifikat

dari Bapak Susumu Hisanaga.

(tahun 1996)


Pak Supriyono mendapat kesempatan ke Tokyo mengikuti pelatihan dengan dana JICA. . Pak Tobing dan Zainudin meneruskan belajar di RS Cipto dan jadilah ke tiganya instruktur.. Pelatihan kembali di laksanakan tahun 1999 dan 2002.


Tahun 1999 di hadiri ibu Murpratomo




Tahun 2002. bapak Sakagami melatih



Tahun 2002 saya bersama 5 bapak (pak Ismedt, pak Supriyono Yudho, pak Tobing, pak tarto dan Zainudin), berkesempatan ke tokyo, mengikuti pelatihan instruktur, selama 3 bulan , dengan biaya JICA.



Tahun 2002 di Tokyo.

Diantara saya dan pak Tobing, bapak Shoji Nakamura



Kemudian tahun 2003 , 2 terapis wicara , ibu Helena dan ibu Niniek, menyertai 7 bapak berlatih di Bangkok.



Ibu Helena dan ibu Niniek,mendampingi di Bangkok.



Pada tahun yang sama pak Siahaan dan pak Andowi berlatih ke Tokyo. Pak Siahaan kini aktif membantu,namun pak Andowi kok lama tak ada beritanya .Pelatihan di Bangkok terselenggara lagi tahun 2006 yang lalu.


Pak Darmono dan kawan-kawan, di bandara Sukarno-Hata, menjelang keberangkatan ke Bangkok.

(2006)


Pelatihan di Jakarta berlangsung tahun ini dan Mr Karoon disertao mr Sopon, datang untuk mensupervisis, sebagai wakil AFLA.


Makan malam di Satay House - Kebon Sirih




Agenda acara dapat saya sebutkan sebagai berikut. Hari pertama setelah laporan ketua panitia, kepala departemen membuka, dan saya menceriterakan perjalanan kerjasama PWE-AFLa serta pelatihanyang telah pernah diselenggarakan (seperti saya ceriterakan di atas. Dr Ira melanjutkan kemudian dr Bambang Hermani SpTHT, serta ibu Helena. Setelah sholat Jumat, dilakukan pembagian kelompok, menurutkemampuan wicara dan terapis yang dipasangkan , nantinya akan melatih. Setelah itu teman-teman bapak menyelenggarakan rapat organisasi, tentang rencana hingga tahun 2010, sedangkan para terapis wicara berlatih bersama ibu helena..Acara berlangsung hingga pk 15.30



Pak Sugeng, ke tiga dari kiri





Keesokan harinya langsung pelatihan, dan setelah makan siang, di lakukan evaluasi dilanjutkan menyanyi bersama, membaca puisi, karaoke dansa. Pokoknya seru! Acara ditutup pk 15.00. dan direncanakan tahun depan 2 hari di jakarta, 2 hari di surabaya, dengan supervisi dari Bangkok. Semoga bisa terlaksana. Dari Surabaya yang hadir pak Sugeng, terapis wicara dan pak Djoko..

Mr Karoon dan mr Sopon mengisi hari-harinya dengan piknik bersama pak Tobing , pak Tarto pak Siahaan dan Zainudin.

Sekian dulu pak Darmono. Nanti saya sambung lagi

Jakarta, 19 maret 2007





Menyanyi bersama


Nury

rehab-med.blogspot.com

nury-nus.blogspot.com

laryngectomees.blogspot.com

tanpa-pita-suara.logspot.com

Friday, March 16, 2007

Aku Tanpa Laring


AKU TANPA LARING

MSHR

Masa mudaku telah berlalu

Dari mulutku tiada lagi asap mengepul

Nada suaraku tak lagi semerdu dulu

Parau ………..tak berlagu

Pita suaraku telah tiada

Aku sadar, ……….aku menyesal

Namun apa mau dikata

Semua itu telah menjadi fakta

Lebih baik maju terus…..kerja terus

Sampai batas akhir hayatku (Jakarta, 10 Februari 2007)


Puisi di atas menggambarkan kegalauan seorang yang tadinya menggemari rokok, namun kini bukan lagi tak bisa merokok, bicarapun harus belajar kembali. Pak Mashuri menulis dan membacakan sajaknya pada latihan bersama para tuna laring (sebutan untuk seseorang yang tidak lagi mempunyai pita suara) , yang tergabung dalam Perhimpunan Wicara Esofagus (PWE). Latihan bersama ini dihadiri 2 tuna laring dari asosiasi serupa di Thailand ( Laryngecromees Association in Thailand).

Pengangkatan pita suara biasanya karena keganasan laring. Keganasan laring , terjadi paling banyak pada laki-laki, perbandingan laki-laki: perempuan = 9 : 1. Rokok ditengarai sebagai penyebab utama terjadinya keganasan pita suara ini. Rata-rata 5 orang anggota baru pertahun, hal ini sangat jauh dari diagnosa yang ditegakkan berdasarkan Patologi Anatomi. Sering kali pasien datang saat stadium lanjut, sehingga tidak bisa lagi di lakukan tindakan pengangkatan laring. Sesungguhnya bila ditemukan saat stadium dini, keganasan ini tidaklah berakibat fatal. Namun, gambaran tidak bisa bicara setelah operasi menyebabkan tindakan operasi dihindari, mencari pengobatan dalam bentuk lain, an datang kembali sudah terlambat.

PWE berlatih seminggu sekali di Departemen Rehabilitasi Medik, dengan instruktur dari para tuna laring sendiri. Para tuna laring yang menjadi instruktur telah memiliki sertifikat sebagai instruktur. Sertifikat diperoleh setelah mengikuti pelatihan sebagai instruktur yang berlangsung di Tokyo atau di Bangkok. Saat ini aktif 5 orang instruktur . pelatihandi luar negri ini merupakan hasil kerjasan PWE dengan Asian Federation of laryngectomee’s Association (AFLA) sejak tahun 1992. Anggota PWE berkumpul tidak hanya untuk berlatih, tetapi juga mengunjungi pasien lain yang masig ragu untuk dilakukan tindakan operasi. Kunjungan sesama penderita, yang kemudian terbukti bisa bicara kembali, sangat membantu moral seseorang dengan diagnosa keganasan laring, dan keluarganya. Latihan di pandu juga oleh terapis wicaktara, dan menjadi kuajiban untuk dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi untuk melakukan supervisi.

Seorang tuna laring harapan hidupnya sama dengan orang lain, karena setelah keganasannya di angkat, menjadi tidak sakit lagi, hanya terjadi perubahan cara bernafas yang sekarang berpindah melalui stoma di leher, dan bicara tidak menggunakan pita suara , melainkan esofagus.


Anggota PWE tak hanya bisa bicara, sudah mahir menyanyi !


Foto di atas diambil tgl 6 Maret 2007, 1 minggu sebelum penyelenggaraan pelatihan bersama, hanya saya yang bicara dengan pita suara, jadi yang tidak normal siapa ya? Kok jadi saya yang "lain"